Kamis, 08 Mei 2008

Suku Bugis Membangunkan Baturube dari Keterbelakangan

* Berawal dari Sejarah Rumah Tiga


Rumah Tiga. Orang Bugis yang tinggal di Bungku Utara, Morowali, Sulteng, terutama di Baturube setidaknya pernah mendengar sejarah Rumah Tiga. Menurut cerita penduduk setempat ketika itu di Baturube, orang hanya melihat ada tiga rumah di sana termasuk rumah Pasangan almarhum H Dg Paliwang dan Hj Sakira, 90 tahun, yang berasal dari Sinjai. Sejak itulah dikenal istilah Rumah Tiga.


Oleh: ABUBAKAR AR


KEPALA Desa Boba, Akib Sidik, juga pernah mendengar nama rumha tiga, begitu pun dengan Mahmud. Akib menuturukan bahwa sejarah kemajuan Baturube pertamkali di buka oleh orang-orang Bugis. Awalnya suku asli Ta atau Wana yang berbahasa Ta sangat terkebelakang. Sampai saat ini malah Suku Wana masih ada yang berdiam diri di atas-atas gunung dan sangat takut melihat manusia.

Barulah ketika H Dg Paliwang dan Hj Sakira datang dan menetap di Baturube, daerah ini menjadi ramai. H Dg Paliwang sering didatangi sanak keluarganya dari Selatan. Perlahan dari waktu ke waktu semakin banyak orang-orang dari Selatan menetap di Baturube hingga menyebar ke desa lainnya untuk membuka usaha dagang dan bertani coklat.

Saat itulah Baturube berkembang dan memiliki pelabuhan, karena sering didatangi orang-orang dari Selatan. Sakira yang berasal dari Sinjai kesehariannya membuka warung kelontong di depan pintu pelabuhan Baturube. Juga mendirikan penginapan Nur yang tak jauh dari pelabuhan Baturube.

Ketika Bencana Banjir dan longsor yang melanda Bungku Utara reda, penginapan Nur milik Sakira ramai karena digunakan sebagai base bagi wartawan-wartawan dari Makassar dan Palu untuk meliput kondisi banjir dan longsor di desa sekitar.

Dari cerita anak cucu Sakira, Dg Paliwang dan Sakira bisa sampai di Baturube ketika masa gerombolan di Sulsel, mereka menyingkir ke utara dan terdampar di Baturube. Mereka kemudian mendirikan rumah. Kala itu hanya ada tiga rumah.

Sejak saat itu Baturube dan desa sekitarnya seolah dibangunkan dari ketertinggalan oleh orang-orang dari Selatan. Kisah orang selatan lainnya, Mahmud mengatakan, almarhum ayahnya, Ambo Massa dan ibunya, Salmia Daud sudah sejak datang ke desa Boba mulai bertanam palawija di desa Boba sekitar tahun 1956. Ketika ada sanak keluarga dari Selatan yang berkunjung ke Boba, mereka melihat tanah di sini sangat cocok untuk bertani coklat. Sajak itulah semakin banyak suku bugis berdatangan ke Boba bertani coklak hingga saat ini.

Begitu juga dengan kisah Mansyur yang yang berasal dari Tanrutedong, Sidrap. Ia ke Bungku Utara dan tinggal di desa Woomparigi, tujuh kilometer dari Baturube. Ia ke Bungku Utara sejak awal tahun 1997 membawa keluarganya dan bertani coklat serta membuka bengkel motor. Mansyur satu-satunya warga yang sementara mendirikan rumah batu bertingkat dua di dewa Woomparigi. Saat bencana banjir melanda Woomparigi hingga setingga dada orang dewasa, Mansyur menamapung tujuh kepala kelurga di rumahnya yang berlantai dua selama banjir empat hari empat malam.

Begitu tiba di Woomparigi tahun 1997, Mansyur langsung membuka usaha bengkel motor. Selama saya mengitari desa Woomparigi, Mansyurlah satu-satunya yang memiliki bengkel motor di Woomparigi. Semua Ojek menambal dan memperbaiki motornya di tempat Mansyur. Usaha Mansyur semakin berkembang dan ia membangun rumah berlatai dua di samping bengkelnya. Seperti petani coklat yang lain, Mansyur juga menderita kerugian karena tanaman coklatnya tercerabut oleh banjir.

Kepala Desa Woomparigi, Tasrik DM mencatat ada 36 kepala keluarga yang mengungsi ke mesjid selama bencana banjir di desa Woomparigi sejak 19-25 Juli 2007. “Banjir di desa kami itu tingginya sampai dada orang dewasa dan arusnya deras,” kata Tasrik. (***)

Jejak Suku Bugis di Pengungsian Baturube

Tidaklah berlebihan memang bila kalau ada yang mengatakan, di mana ada pelabuhan dan pesisir di situ ada Suku Bugis. Selama dua berada di daerah bencana banjir dan longsor di Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali, Sulteng saya juga menemukan jejak Suku Bugis di sekitar pelabuhan Baturube, ibu kota Kecamatan Bungku Utara.


Oleh: Abubakar AR


Dari Pelabuhan Kolonodale, Morowali, saya menumpang KRI Teluk Jakarta, menjunu Baturube sekitar pukul 11.00 Wita pada 30 Juli 2007. Perjalanan ditempuh selama empat jam. Menjejakkan kaki di pelabuhan Baturube, Saya merasa tak asing dengan bahasa yang digunakan penduduk setempat. Mereka bercakap dalam bahasa Bugis.

Banyak desa yang terisolasi karena jalan darat terputus atau tertimbun material longsor, Seperti Desa Boba, Seliti. Kedua desa tersebut menurut keterangan penduduk setempat paling banyak dihuni orang-orang dari Selatan.

Mereka menyebut Suku Bugis dengan sebutan Orang Selatan. Bahkan Kepala Desa Boba dan Seliti berasal dari Suku Bugis. Mereka datang ke Bungku Utara, Morowali membuka usaha dagang atau bertani coklat. Ada yang berasal dari Sidrap, Sinjai, Bone, Sengkang, Maros. Bahkan ada yang sudah kawin mawin dengan penduduk setempat. Seperti mantan kepala desa Boba, Mahmud yang lahir di Boba 51 tahun yang lalu dan menikah dengan perempuan suku asli penduduk setempat, suku Ta.

Kepala Desa Boba, Akib Sidik yang berasal dari Bone saat ditemui di pengungsian Madrasah Ibtidaiah, Baturube menuturkan, boleh dikata bahasa kedua yang digunakan setelah bahasa Indonesia di sini adalah bahasa Bugis.

“Semua pengungsi suku Bugis dari Desa Boba mengungsi ke Baturube. Tak ada korban jiwa, kami hanya kehilangan rumah dan isinya serta kebun coklat. Semuanya rusak berat dan tak dapat lagi dihuni. Begitupun kebun-kebun coklat milik masyarakat sebagian besar telah tertimbun longsor,” ujar Akib yang sudah tiga tahun menjabat kepala desa Boba.

Mahmud yang orangtuanya berasal dari Maros juga mengiyakan kalau tak ada korban jiwa dari suku Bugis, namun banyak kehilangan harta benda mereka. Tak ada yang bisa diselamatkan termasuk kembun coklat mereka. Hampir semua suku Bigus yang menetap di desa Boba menjadi petani coklat. Lahan coklat Mahmud sendiri seluas dua hectare semuanya habis tertimbun longsor.

Mahmud yang menjabat kepala desa sejak 1982 hingga 2000, menceritakan bencana longsor di desa Boba tidak menelan korban jiwa dari suku Bugis, karena sehari sebelumnya hujan deras tak pernah berhenti. Semalamam mereka tak tidur dan memilih berjaga-jaga. Empat jam sebelum gemuruh longsor terdengar dari atas gunung mereka sepakat lebih dulu mengungsi mencari tempat yang aman untuk sementara.

Akib mencatat sebagian besar masyarakat Boba berasal dari suku Bugis. Penduduk Desa Boba sebanyak 253 jiwa dan 109 Kepala keluarga (KK). 74 KK berasal dari suku Bugis, sisanya 35 KK penduduk asli Suku Wana. Pengungsi Suku Suku Bugis sebanyak 230 jiwa atau 64 KK yang teridiri dari 118 laki-laki dan 112 perempuan sudah dua belas hari berada di pengungsian Baturube. Mereka memilih bertahan di pengungsian, karena pemerintah Kecamatan belum memberikan jaminan apabila mereka kembali ke desa, mereka tetap disuplai bantuan makanan.

“Sebenarnya kami sudah bosan berada di pengungsian. Tak ada yang bisa dilakukan. Kami sudah mendesak pemerintah kecamatan dan dewan agar kami dipulangkan ke desa dengan jaminan tetap disuplai bantuan selama kembali ke desa Boba. Tapi pemerintah kecamatan belum memberikan respon sampai hari ini,” tutur Akib.

“Dipengungsian ini kami disupali beras, selimut, mi instant, pakaian, air bersih setiap empat hari dan disiapkan posko kesehatan. Masyarakat masih sangat membutuhkan bantuan pemerintah untuk meringankan penderitaan mereka,” tambah akib.

Hanya keluarga Asril yang berasal Sidrap memutuskan untuk kembali ke Masamba untuk sementara waktu sambil menunggu kondisi benar-benar aman. Arsil dan keluarganya baru dua tahun menetap di Boba. Asril meninggalkan pengungsian Baturube 31 Juli 2007 dan menuju Masamba membawa empat belas orang anggota keluarganya.

Ketika saya berjumpa Arsil dan rombongan keluarganya di pelabuhan Baturube, dan menanyakan mereka hendak ke mana. Arisl hanya menjawab, “Kami mau ke Selatan.”
“Kami ingin pulang ke Masamba dulu. Saya punya cucu dua orang yang baru berusia tiga bulan dan tiga tahun. Kasian mereka kalau terus berada di pengungsian dengan kondisi yang tidak jelas. Apalagi kami tidak punya apa-apa lagi di sini. Semua kebun coklat tertimbun longsor. Kami mau ke Selatan tidak punya ongkos sekarang ini. Beruntung ada keluarga dari Masamba yang mau jemput,” kata Asril seraya mengajak semua anggota keluarganya naik ke kapal kayu menuju pelabuhan Kolonodale lalu melanjutkan perjalanan menuju Sorowako hingga ke Masamba.(***)

90 Persen Kendaraan di Makassar Tidak Terawat

* Makassar Perlu Perda Pencemaran Udara

MAKASSAR -- Khusus bagi kendaraan yang memakai bahan bakar solar, diperkirakan 90 persen pemilik kendaraan tidak merawat kendaraannya.

Ini terlihat saat uji emisi yang dilakukan tim gabungan dari Kementerian Lingkungan hidup Rabu, 31 Mei Kemarin di Jl AP Pettarani.

"Saya sudah berdiri sekitar 10 menit dan memperhatikan kendaraan pribadi yang diuji emisi. Dan hasilnya dari 10 kendaraan yang diuji belum tentu ada satu kendaraan yang berbahan bakar solar lulus tes emisi," ujar Linda dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Linda memaparkan bisa kita lihat kendaraan yang tidak terawat dengan baik, seperti mengeluarkan asap hitam yang sangat tebal.

"Perlu diingat kendaraan yang berbahan bakar solar itu menghasilkan partikular yang lumayan besar mencemerkan udara di sekitar kita," beber Linda.

Linda menegaskan, ini pertanda bahwa pemilik kendaraan hanya tahu menggunakan kendaraan, tapi tidak bisa merawat kendaraannya yang tanpa disadari telah berkontribusi besar mencemarkan udara di sekitarnya.

Sementara untuk kendaraan yang berbahan bakar bensi diprediksi sekitar 5 persen yang tidak lulus tes emisi.

"Ini perlu penyadaran lebih lanjut kepada pengguna kendaraan di Kota Makassar, bahwa pentingnya merawat kendaraan untuk lebih menghemat bahan bakar dan umur kendaraan bisa lebih panjang." terang Linda.

Linda memaparkan, pencemaran udara 70 persen kontribusinya dari emisi kendaraan pribadi. Persentasi pencemaran udara sama juga yang beberkan oleh penelitian JICA bahwa 70 persen pencemaran udara datangnya dari kendaraan bermotor dan pribadi.

Asisten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Emisi Sumber Bergerak Kementerian Lingkungan Hidup, Ridwan D Tamin, MS memaparkan pengujian emisi ini terkait dengan aspek dampak transportasi kepada lingkungan di kota-kota besar.

"Kami berharap, dari hasil evaluasi di kota-kota besar termusuk Makassar, nantinya Pemerintah kota bisa membuat Perda tentang pencemaran udara," ungkap Ridwan.

Sementara itu Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran & Pencemaran Limbah B3 (PLB3), Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi Maluku Papua (Sumapapua), Ir Andi Syarifuddin Bausat, MS menguraikan tren pencemaran udara di Kota Makassar lima tahun terakhir 70 persen kendaraan umum berbahan bakar solar tidak lulus uji emisi.

Kendaraan berbahan bakar bensin sekitar 55 persen hingga 60 persen yang tidak lulus uji emisi. "Dari pencemaran udara yang cenderung meningkat ini, juga menunjukkan peningkatan tren pengidap Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), Paruparu, jantung, hipertensi serta berpengaruh pada kecenderungan emosional masyarakat di Kota Makassar juga semakin meningkat dari tahun ketahun karena keseringan menghirup udara yang tidak sehat," beber Syarifuddin

Politik Pencitraan

oleh: Abubakar AR


Konon, pertarungan wacana komunikasi politik sering menempatkan media sebagai medan perang sekaligus panglima. Hal ini dimungkinkan ketika media memiliki kekuatan penuh untuk memutuskan informasi mana yang seharusnya diketahui atau tidak diketahui publik. Kondisi ini menempatkan media sebagai pembentuk citra baru bagi individu atau lembaga. Hal ini menjadikan berita terus mengalami redefinisi sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Konsekuensinya adalah fakta bisa berubah menjadi entitas yang bisa diciptakan, sehingga berita yang tercipta kini berada di antara wilayah fiksi dan non fiksi. Fakta juga kini telah berubah menjadi komoditas yang mudah dikemas, didaur ulang dan dimaknai kembali. Maka wajar jika hampir seluruh media memberitakan hal yang sama dan dari sumber berita yang sama. Seperti halnya pemberitaan masalah pilkada langsung, hampir setiap media cetak maupun elektronik memberikan porsi ruang dan waktu untuk mengulas pilkada langsung.

Dalam konteks komunikasi politik, peran media dalam mengulas pilkada langsung tak sebatas hanya pada masa kampanye saja. Boleh dikatakan konstruksi citra politik justru dibangun terus-menerus mulai pendaftaran calon kepala daerah ke dalam berbagai ruang publik yang disediakan media massa. Citra dan stereotip secara sadar atau tidak merupakan dua hal yang terus diusung media. Efek dari komunikasi politik disengaja atau tidak disengaja telah melahirkan keberpihakan media.

Menurut John Hartley dalam bukunya “Understanding News”, narasi berita hampir mirip dengan sebuah novel atau karangan fiksi yang memunculkan sosok pahlawan dan penjahat. Media juga selalu punya kecenderungan untuk menampilkan tokoh dua sisi untuk saling dipertentangkan sebagai akibat pemahaman yang serampangan tentang cover bothside.

Ruang-ruang publik yang termasuk di dalam media massa, menjadi ruang ekspresi yang tak terlepas dari berbagai manuver, taktik, dan strategi politik yang digelar oleh elite politik dalam suksesi pilkada pada Juni 2005 nanti. Teknik “pemasaran politik” dengan mengemas “citra” tentang sosok calon kepala daerah dalam praktek politik citraan (politics of image), menempatkan media massa sebagai pemegang kendali utama pemberitaan, karena salah satu kekuatan media yang sangat diperhitungkan adalah kekuatan menciptakan opini publik.

Jika kita menggunakan paradigma Peter D. Moss (1999), akan terlihat bagaimana wacana media massa, termasuk berita surat kabar, merupakan konstruk kultural yang dihasilkan ideologi, karena sebagai produk media massa, berita surat kabar menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya, surat kabar menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa pahlawan, siapa penjahat; apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk dilakukan oleh seorang pemimpin; tindakan apa yang disebut perjuangan (demi membela kebenaran dan keadilan); isu apa yang relevan dan tidak (Eriyanto, analisis Framing: X).

Narasi yang dibangun dan dipoles sedemikian rupa dengan bahasa, tidak sekedar untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara melihat lingkungan kita. Implikasinya, bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan akses tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.

Dalam dunia pencitraan, citra dan realitas menjadi dua kutub yang terus tarik menarik. Citra telah berubah menjadi sebuah mesin politis yang bergerak kian cepat. Strategi pencitraan dan teknologi pencitraan atau imagologi dikemas sedemikian rupa untuk mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.

Sehingga dapat dikatakan bahwa pilkada langsung tak lebih dari pemilihan image politik individu atau lembaga. Bukan calon kepala daerahnya, tetapi image-nya. Citraan-citraan itulah yang dijual dalam pencalonan, kampanye dan janji-janji politiknya. Dalam pilkada langsung orang dituntun memilih berdasarkan image. Namun dalam teori Marxis dikatakan bahwa orang seringkali terjebak dengan citra, karena memilih dengan kesadaran palsu, membeli citraan yang palsu. Ketika dia sudah membeli baru ketahuan banyak hal yang buruk.

Imagologi politik dalam tahapan pilkada ini mengarah pada semacam diskontinuitas antara citra politik dan realitas politik, sehingga teknologi pencitraan mengkonstruksi semacam realitas kedua (second reality) yang didalamnya kebenaran dimanipulasi. Dalam bukunya simulation, Jean Baudrillard mendefinisikan simulakra sebagai sebuah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses penjungkirbalikan tanda yang menciptakan kekacauan, turbulensi, dan indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan.

Citra politik dan simulakra politik akan menjelma menjadi “kekuatan utama” dalam mengendalikan wacana politik sehingga di dalamnya kini tidak hanya ada kekuatan pengetahuan, tetapi lebih penting lagi menjelmanya “kekuatan citra” (power/image) sebagai kekuatan politik.

Dalam simulakra politik, segala potensi tanda, citra, dan tontonan; segala kekuatan bahasa (language power); kekuatan simbol (symbolic power) dikerahkan dalam rangka membangun citra, membentuk opini publik, mengubah persepsi, mengendalikan kesadaran massa (mass consciousness), dan mengarahkan preferensi politik meski semuanya tak lebih dari iring-iringan simulakra belaka.

Meskipun pada akhirnya pemberitaan media menunjukkan sifat netral atau berpihak, merepresentasikan fakta atau rekayasa fakta, menggambarkan realitas atau hanya mensimulasi realitas. Namun yang jelas media tidak dapat dilepaskan dari berbagai kepentingan, baik itu kepentingan ekomomi maupun kepentingan ideologi. Dalam menghasilkan pemberitaan politik misalnya, sebuah media dipengaruhi oleh berbagai faktor internal berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai suatu kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan politik tertentu, dan faktor eksternal seperti tekanan pasar pembaca atau permirsa, sistem politik yang berlaku, dan kekuatan-kekuatan luar lainnya (Ibnu Hamad: 2-3).

Wajah media memang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi media berupaya mendekati obyektifitas pemberitaan, namun di satu sisi yang lain media juga tak luput dari keberpihakan dan ketidakberimbangan yang dapat dijadikan celah bagi tim sukses untuk terus memasukkan pesan dan citra politik sosok calon kepala daerah. Celah ini bisa dimanfaatkan bagi elit politik maupun tim sukses untuk menjadikan media sebagai sarana pemasaran massal. Tak heran bila beberapa pendapat mengatakan bahwa komunikasi politik di era informasi telah menjelma menjadi ajang pemasaran massal yang di dalamnya tanda dan citra memainkan peran sentral.***