oleh: Abubakar AR
Konon, pertarungan wacana komunikasi politik sering menempatkan media sebagai medan perang sekaligus panglima. Hal ini dimungkinkan ketika media memiliki kekuatan penuh untuk memutuskan informasi mana yang seharusnya diketahui atau tidak diketahui publik. Kondisi ini menempatkan media sebagai pembentuk citra baru bagi individu atau lembaga. Hal ini menjadikan berita terus mengalami redefinisi sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Konsekuensinya adalah fakta bisa berubah menjadi entitas yang bisa diciptakan, sehingga berita yang tercipta kini berada di antara wilayah fiksi dan non fiksi. Fakta juga kini telah berubah menjadi komoditas yang mudah dikemas, didaur ulang dan dimaknai kembali. Maka wajar jika hampir seluruh media memberitakan hal yang sama dan dari sumber berita yang sama. Seperti halnya pemberitaan masalah pilkada langsung, hampir setiap media cetak maupun elektronik memberikan porsi ruang dan waktu untuk mengulas pilkada langsung.
Dalam konteks komunikasi politik, peran media dalam mengulas pilkada langsung tak sebatas hanya pada masa kampanye saja. Boleh dikatakan konstruksi citra politik justru dibangun terus-menerus mulai pendaftaran calon kepala daerah ke dalam berbagai ruang publik yang disediakan media massa. Citra dan stereotip secara sadar atau tidak merupakan dua hal yang terus diusung media. Efek dari komunikasi politik disengaja atau tidak disengaja telah melahirkan keberpihakan media.
Menurut John Hartley dalam bukunya “Understanding News”, narasi berita hampir mirip dengan sebuah novel atau karangan fiksi yang memunculkan sosok pahlawan dan penjahat. Media juga selalu punya kecenderungan untuk menampilkan tokoh dua sisi untuk saling dipertentangkan sebagai akibat pemahaman yang serampangan tentang cover bothside.
Ruang-ruang publik yang termasuk di dalam media massa, menjadi ruang ekspresi yang tak terlepas dari berbagai manuver, taktik, dan strategi politik yang digelar oleh elite politik dalam suksesi pilkada pada Juni 2005 nanti. Teknik “pemasaran politik” dengan mengemas “citra” tentang sosok calon kepala daerah dalam praktek politik citraan (politics of image), menempatkan media massa sebagai pemegang kendali utama pemberitaan, karena salah satu kekuatan media yang sangat diperhitungkan adalah kekuatan menciptakan opini publik.
Jika kita menggunakan paradigma Peter D. Moss (1999), akan terlihat bagaimana wacana media massa, termasuk berita surat kabar, merupakan konstruk kultural yang dihasilkan ideologi, karena sebagai produk media massa, berita surat kabar menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya, surat kabar menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa pahlawan, siapa penjahat; apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk dilakukan oleh seorang pemimpin; tindakan apa yang disebut perjuangan (demi membela kebenaran dan keadilan); isu apa yang relevan dan tidak (Eriyanto, analisis Framing: X).
Narasi yang dibangun dan dipoles sedemikian rupa dengan bahasa, tidak sekedar untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara melihat lingkungan kita. Implikasinya, bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan akses tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.
Dalam dunia pencitraan, citra dan realitas menjadi dua kutub yang terus tarik menarik. Citra telah berubah menjadi sebuah mesin politis yang bergerak kian cepat. Strategi pencitraan dan teknologi pencitraan atau imagologi dikemas sedemikian rupa untuk mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pilkada langsung tak lebih dari pemilihan image politik individu atau lembaga. Bukan calon kepala daerahnya, tetapi image-nya. Citraan-citraan itulah yang dijual dalam pencalonan, kampanye dan janji-janji politiknya. Dalam pilkada langsung orang dituntun memilih berdasarkan image. Namun dalam teori Marxis dikatakan bahwa orang seringkali terjebak dengan citra, karena memilih dengan kesadaran palsu, membeli citraan yang palsu. Ketika dia sudah membeli baru ketahuan banyak hal yang buruk.
Imagologi politik dalam tahapan pilkada ini mengarah pada semacam diskontinuitas antara citra politik dan realitas politik, sehingga teknologi pencitraan mengkonstruksi semacam realitas kedua (second reality) yang didalamnya kebenaran dimanipulasi. Dalam bukunya simulation, Jean Baudrillard mendefinisikan simulakra sebagai sebuah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses penjungkirbalikan tanda yang menciptakan kekacauan, turbulensi, dan indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan.
Citra politik dan simulakra politik akan menjelma menjadi “kekuatan utama” dalam mengendalikan wacana politik sehingga di dalamnya kini tidak hanya ada kekuatan pengetahuan, tetapi lebih penting lagi menjelmanya “kekuatan citra” (power/image) sebagai kekuatan politik.
Dalam simulakra politik, segala potensi tanda, citra, dan tontonan; segala kekuatan bahasa (language power); kekuatan simbol (symbolic power) dikerahkan dalam rangka membangun citra, membentuk opini publik, mengubah persepsi, mengendalikan kesadaran massa (mass consciousness), dan mengarahkan preferensi politik meski semuanya tak lebih dari iring-iringan simulakra belaka.
Meskipun pada akhirnya pemberitaan media menunjukkan sifat netral atau berpihak, merepresentasikan fakta atau rekayasa fakta, menggambarkan realitas atau hanya mensimulasi realitas. Namun yang jelas media tidak dapat dilepaskan dari berbagai kepentingan, baik itu kepentingan ekomomi maupun kepentingan ideologi. Dalam menghasilkan pemberitaan politik misalnya, sebuah media dipengaruhi oleh berbagai faktor internal berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai suatu kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan politik tertentu, dan faktor eksternal seperti tekanan pasar pembaca atau permirsa, sistem politik yang berlaku, dan kekuatan-kekuatan luar lainnya (Ibnu Hamad: 2-3).
Wajah media memang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi media berupaya mendekati obyektifitas pemberitaan, namun di satu sisi yang lain media juga tak luput dari keberpihakan dan ketidakberimbangan yang dapat dijadikan celah bagi tim sukses untuk terus memasukkan pesan dan citra politik sosok calon kepala daerah. Celah ini bisa dimanfaatkan bagi elit politik maupun tim sukses untuk menjadikan media sebagai sarana pemasaran massal. Tak heran bila beberapa pendapat mengatakan bahwa komunikasi politik di era informasi telah menjelma menjadi ajang pemasaran massal yang di dalamnya tanda dan citra memainkan peran sentral.***
Kamis, 08 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar