Tidaklah berlebihan memang bila kalau ada yang mengatakan, di mana ada pelabuhan dan pesisir di situ ada Suku Bugis. Selama dua berada di daerah bencana banjir dan longsor di Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali, Sulteng saya juga menemukan jejak Suku Bugis di sekitar pelabuhan Baturube, ibu kota Kecamatan Bungku Utara.
Oleh: Abubakar AR
Dari Pelabuhan Kolonodale, Morowali, saya menumpang KRI Teluk Jakarta, menjunu Baturube sekitar pukul 11.00 Wita pada 30 Juli 2007. Perjalanan ditempuh selama empat jam. Menjejakkan kaki di pelabuhan Baturube, Saya merasa tak asing dengan bahasa yang digunakan penduduk setempat. Mereka bercakap dalam bahasa Bugis.
Banyak desa yang terisolasi karena jalan darat terputus atau tertimbun material longsor, Seperti Desa Boba, Seliti. Kedua desa tersebut menurut keterangan penduduk setempat paling banyak dihuni orang-orang dari Selatan.
Mereka menyebut Suku Bugis dengan sebutan Orang Selatan. Bahkan Kepala Desa Boba dan Seliti berasal dari Suku Bugis. Mereka datang ke Bungku Utara, Morowali membuka usaha dagang atau bertani coklat. Ada yang berasal dari Sidrap, Sinjai, Bone, Sengkang, Maros. Bahkan ada yang sudah kawin mawin dengan penduduk setempat. Seperti mantan kepala desa Boba, Mahmud yang lahir di Boba 51 tahun yang lalu dan menikah dengan perempuan suku asli penduduk setempat, suku Ta.
Kepala Desa Boba, Akib Sidik yang berasal dari Bone saat ditemui di pengungsian Madrasah Ibtidaiah, Baturube menuturkan, boleh dikata bahasa kedua yang digunakan setelah bahasa Indonesia di sini adalah bahasa Bugis.
“Semua pengungsi suku Bugis dari Desa Boba mengungsi ke Baturube. Tak ada korban jiwa, kami hanya kehilangan rumah dan isinya serta kebun coklat. Semuanya rusak berat dan tak dapat lagi dihuni. Begitupun kebun-kebun coklat milik masyarakat sebagian besar telah tertimbun longsor,” ujar Akib yang sudah tiga tahun menjabat kepala desa Boba.
Mahmud yang orangtuanya berasal dari Maros juga mengiyakan kalau tak ada korban jiwa dari suku Bugis, namun banyak kehilangan harta benda mereka. Tak ada yang bisa diselamatkan termasuk kembun coklat mereka. Hampir semua suku Bigus yang menetap di desa Boba menjadi petani coklat. Lahan coklat Mahmud sendiri seluas dua hectare semuanya habis tertimbun longsor.
Mahmud yang menjabat kepala desa sejak 1982 hingga 2000, menceritakan bencana longsor di desa Boba tidak menelan korban jiwa dari suku Bugis, karena sehari sebelumnya hujan deras tak pernah berhenti. Semalamam mereka tak tidur dan memilih berjaga-jaga. Empat jam sebelum gemuruh longsor terdengar dari atas gunung mereka sepakat lebih dulu mengungsi mencari tempat yang aman untuk sementara.
Akib mencatat sebagian besar masyarakat Boba berasal dari suku Bugis. Penduduk Desa Boba sebanyak 253 jiwa dan 109 Kepala keluarga (KK). 74 KK berasal dari suku Bugis, sisanya 35 KK penduduk asli Suku Wana. Pengungsi Suku Suku Bugis sebanyak 230 jiwa atau 64 KK yang teridiri dari 118 laki-laki dan 112 perempuan sudah dua belas hari berada di pengungsian Baturube. Mereka memilih bertahan di pengungsian, karena pemerintah Kecamatan belum memberikan jaminan apabila mereka kembali ke desa, mereka tetap disuplai bantuan makanan.
“Sebenarnya kami sudah bosan berada di pengungsian. Tak ada yang bisa dilakukan. Kami sudah mendesak pemerintah kecamatan dan dewan agar kami dipulangkan ke desa dengan jaminan tetap disuplai bantuan selama kembali ke desa Boba. Tapi pemerintah kecamatan belum memberikan respon sampai hari ini,” tutur Akib.
“Dipengungsian ini kami disupali beras, selimut, mi instant, pakaian, air bersih setiap empat hari dan disiapkan posko kesehatan. Masyarakat masih sangat membutuhkan bantuan pemerintah untuk meringankan penderitaan mereka,” tambah akib.
Hanya keluarga Asril yang berasal Sidrap memutuskan untuk kembali ke Masamba untuk sementara waktu sambil menunggu kondisi benar-benar aman. Arsil dan keluarganya baru dua tahun menetap di Boba. Asril meninggalkan pengungsian Baturube 31 Juli 2007 dan menuju Masamba membawa empat belas orang anggota keluarganya.
Ketika saya berjumpa Arsil dan rombongan keluarganya di pelabuhan Baturube, dan menanyakan mereka hendak ke mana. Arisl hanya menjawab, “Kami mau ke Selatan.”
“Kami ingin pulang ke Masamba dulu. Saya punya cucu dua orang yang baru berusia tiga bulan dan tiga tahun. Kasian mereka kalau terus berada di pengungsian dengan kondisi yang tidak jelas. Apalagi kami tidak punya apa-apa lagi di sini. Semua kebun coklat tertimbun longsor. Kami mau ke Selatan tidak punya ongkos sekarang ini. Beruntung ada keluarga dari Masamba yang mau jemput,” kata Asril seraya mengajak semua anggota keluarganya naik ke kapal kayu menuju pelabuhan Kolonodale lalu melanjutkan perjalanan menuju Sorowako hingga ke Masamba.(***)
Kamis, 08 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar