* Berawal dari Sejarah Rumah Tiga
Rumah Tiga. Orang Bugis yang tinggal di Bungku Utara, Morowali, Sulteng, terutama di Baturube setidaknya pernah mendengar sejarah Rumah Tiga. Menurut cerita penduduk setempat ketika itu di Baturube, orang hanya melihat ada tiga rumah di sana termasuk rumah Pasangan almarhum H Dg Paliwang dan Hj Sakira, 90 tahun, yang berasal dari Sinjai. Sejak itulah dikenal istilah Rumah Tiga.
Oleh: ABUBAKAR AR
KEPALA Desa Boba, Akib Sidik, juga pernah mendengar nama rumha tiga, begitu pun dengan Mahmud. Akib menuturukan bahwa sejarah kemajuan Baturube pertamkali di buka oleh orang-orang Bugis. Awalnya suku asli Ta atau Wana yang berbahasa Ta sangat terkebelakang. Sampai saat ini malah Suku Wana masih ada yang berdiam diri di atas-atas gunung dan sangat takut melihat manusia.
Barulah ketika H Dg Paliwang dan Hj Sakira datang dan menetap di Baturube, daerah ini menjadi ramai. H Dg Paliwang sering didatangi sanak keluarganya dari Selatan. Perlahan dari waktu ke waktu semakin banyak orang-orang dari Selatan menetap di Baturube hingga menyebar ke desa lainnya untuk membuka usaha dagang dan bertani coklat.
Saat itulah Baturube berkembang dan memiliki pelabuhan, karena sering didatangi orang-orang dari Selatan. Sakira yang berasal dari Sinjai kesehariannya membuka warung kelontong di depan pintu pelabuhan Baturube. Juga mendirikan penginapan Nur yang tak jauh dari pelabuhan Baturube.
Ketika Bencana Banjir dan longsor yang melanda Bungku Utara reda, penginapan Nur milik Sakira ramai karena digunakan sebagai base bagi wartawan-wartawan dari Makassar dan Palu untuk meliput kondisi banjir dan longsor di desa sekitar.
Dari cerita anak cucu Sakira, Dg Paliwang dan Sakira bisa sampai di Baturube ketika masa gerombolan di Sulsel, mereka menyingkir ke utara dan terdampar di Baturube. Mereka kemudian mendirikan rumah. Kala itu hanya ada tiga rumah.
Sejak saat itu Baturube dan desa sekitarnya seolah dibangunkan dari ketertinggalan oleh orang-orang dari Selatan. Kisah orang selatan lainnya, Mahmud mengatakan, almarhum ayahnya, Ambo Massa dan ibunya, Salmia Daud sudah sejak datang ke desa Boba mulai bertanam palawija di desa Boba sekitar tahun 1956. Ketika ada sanak keluarga dari Selatan yang berkunjung ke Boba, mereka melihat tanah di sini sangat cocok untuk bertani coklat. Sajak itulah semakin banyak suku bugis berdatangan ke Boba bertani coklak hingga saat ini.
Begitu juga dengan kisah Mansyur yang yang berasal dari Tanrutedong, Sidrap. Ia ke Bungku Utara dan tinggal di desa Woomparigi, tujuh kilometer dari Baturube. Ia ke Bungku Utara sejak awal tahun 1997 membawa keluarganya dan bertani coklat serta membuka bengkel motor. Mansyur satu-satunya warga yang sementara mendirikan rumah batu bertingkat dua di dewa Woomparigi. Saat bencana banjir melanda Woomparigi hingga setingga dada orang dewasa, Mansyur menamapung tujuh kepala kelurga di rumahnya yang berlantai dua selama banjir empat hari empat malam.
Begitu tiba di Woomparigi tahun 1997, Mansyur langsung membuka usaha bengkel motor. Selama saya mengitari desa Woomparigi, Mansyurlah satu-satunya yang memiliki bengkel motor di Woomparigi. Semua Ojek menambal dan memperbaiki motornya di tempat Mansyur. Usaha Mansyur semakin berkembang dan ia membangun rumah berlatai dua di samping bengkelnya. Seperti petani coklat yang lain, Mansyur juga menderita kerugian karena tanaman coklatnya tercerabut oleh banjir.
Kepala Desa Woomparigi, Tasrik DM mencatat ada 36 kepala keluarga yang mengungsi ke mesjid selama bencana banjir di desa Woomparigi sejak 19-25 Juli 2007. “Banjir di desa kami itu tingginya sampai dada orang dewasa dan arusnya deras,” kata Tasrik. (***)
Kamis, 08 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar