Tak banyak kisah pribadi Almarhum Panglima Jend M Jusuf yang terungkap ke publik. Cerita tentang dirinya yang mengemuka hanya seputar kontroversi Supersemar dan Penumpasan Permesta (DI/TII) di Sulsel yang melibatkan Kahar Muzadkar.
LAPORAN: ABUBAKAR AR
TAK banyak tulisan pula yang menjelaskan bagaimana sosok yang digelari Panglima Para Prajurit ini mengawali kiprahnya sebagai seorang pejuang kemerdekaan di Jawa. Tak ada pula yang memprediksi keberangkatannya ke Jawa untuk ikut berjuang, kelak menjadikannya salah seorang yang memengang peranan penting tonggak perjalanan bangsa ini menapaki Orde Baru.
Beberapa sumber menyebutkan Almarhum Jend M Jusuf bisa menjejakkan kaki di Pulau Jawa melaui Pulau Sembilan pada tahun 1950. Keberadaan M Jusuf di Pulau Sembilan untuk mencari tumpangan kapal laut ke tanah Jawa pada tahun itu.
Untuk menelusuri jejak M Jusuf Di Pulau Sembilan, penulis bertolak dari Pelabuhan Cappa Ujung Kabupaten Sinjai dengan menumpang kapal kayu ke Pulau Kambuno, Ibukota Kecamatan Pulau Sembilan Jumat, 12 September lalu. Dibutuhkan waktu satu setengah jam terombang ambing di atas kapal kayu dihempas gululungan ombak Teluk Bone.
Penulis menemui salah seorang saksi hidup yang juga anggota veteran Sinjai bernama M Alwi, 87. Ia mengisahkan Keberadaan M Jusuf di Pulau Sembilan waktu itu untuk mencari kapal yang akan berlayar ke Tanah Jawa.
"Tahun-tahun itu sedang bergolak perlawanan para pejuang di Tanah Jawa mempertahankan kemerdekaan," ujarnya dengan antusias.
Selama sepekan di Pulau Sembilan, sebutnya, M Jusuf baru mendapatkan tumpangan kapal. Ia menumpang kapal milik H Kalebbu yang merupakan salah satu saudagar yang memiliki kapal pengangkut barang seperti beras dan hasil bumi lainnya antar pulau kala itu. H Kalebbu juga berasal dari Bone yang merupakan Kampung halaman M Jusuf.
"Jenis kapal yang ditumpanginya bukan Phinisi, tetapi orang menyebutnya Lambo (kapal pengangkut barang, red)," ungkap Alwi.
Salah seorang cucu H Kalebbu, Syamsul Bachri menuturkan dengan kedermawanan H Kalebbu, kapal tersebut dihibahkan kepada M Jusuf. Kendati demikian, sebagai pribadi yang dikenal jujur dan amanah, M Jusuf tetap membuat kesepakatan di atas kertas dan ditandatangani H Kalebbu dan M Jusuf.
"Kesepakatan tersebut dibuat dalam bahasa Bugis di mana M Jusuf berkata 'Iyyapa na tabbe lopita ko Mateka', Tertanda Andi Momang," kata Syamsul mengutip lembaran isi perjanjian yang pernah diperlihatkan alamrhum ayahnya Abdul Salam yang selalu setia mendampingi H Kalebbu.
Alwi dan Syamsul mangatakan, orang mengenal M Jusuf kala itu dengan sebutan nama kampungnya, Andi Momang. Versi lain menurut menurut Alwi, kabarnya M Jusuf di Pulau Sembilan karena terpaksa menyingkir dari kampung halamannya kerena ia dikejar-kejar oleh tentara NICA.
"Mungkin tempat yang cukup aman bersembunyi sementara adalah Pulau sembilan. Itupun selama dia berada di sini, sangat jarang berkeliaran. Takut ada yang lihat. Saya pun hanya sekali melihatnya selama di sini sewaktu mengantarkannya ke rumah bapak H Kalebbu pada hari terakhir bertolak ke Jawa," beber Alwi.
Alwi mengaku pernah dilatih selama tiga bulan oleh M Jusuf ketika belajar di sekolah Palayaran yang bentuk Jepang di Balangnipa, Sinjai tahun 1945. Pemilik nama lengkap Andi Muhammad Jusuf Amir yang lahir di Kajuara, Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1928 silam ini dikenal tak asing dengan dunia pelayaran.
Kepiawaian M Jusuf dalam berlayar juga diakui kerabatnya di Kajuara, Kabupaten Bone. Sebagai bahan perbandingan, penulis menyambangi tempat kelahiran M Jusuf di Kajuara.
Seorang kerabatnya bernama Lamule, 66, menjelaskan M Jusuf banyak menimbah Ilmu pelayaran dari Pasallo yang juga mertua Lamule. "Sejak tahun 1945 M Jusuf selalu ikut dengan Pasallo berlayar. Bahkan pernah berlayar ke Singapura," jelasnya sambil memperlihatkan sehelai lembar surat keterangan yang sudah kusam.
Surat itu menerangkan benar bahwa Pasallo adalah seorang pelaut yang yang kala itu banyak membantu perjuangan selama masa revolusi. Surat itu ditandatangani Almarhum Jenderal M Jusuf semasa ia menjabat Panglima Kodam XIV/Hasanuddin pada tahun 1961.
Alwi kembali melanjutkan kisahnya tentang pengalaman bersama M Jusuf selama di Pulau Sembilan. Sebelum berangkat, M Jusuf minta diantar ke kediaman ayah H Kalebbu bernama Puang Sappe. Namun Alwi hanya diminta menunggu di depan pintu rumah pada suatu pagi. Hanya Puang Sappe dan M Jusuf berdua di dalam rumah.
"Kemungkinan Puang Sappe memberikan bekal doa-doa keselamatan Kepada M Jusuf. Saya cukup lama menunggu, mungkin ada tiga jam dan tidak tahu apa yang terjadi di dalam rumah," terangnya.
Kalau diperhatikan kiprah M Jusuf selama hidupnya, jelasnya, ia memang selalu diselubungi keselamatan. "Ada saja yang membuat dia selamat dari ancaman kematian," cerita Alwi.
"Kalau orang Bugis bilang M Jusuf dibekali semacam ilmu sunharu (kemampuan tidak dilihat kasat mata, red). Ada juga ilmu Assalang (ditembak tapi meleset, red) atau ilmu akkubenneng (tak tembus peluru). Kemungkinnan dari tiga ilmu inilah yang didapat M Yusuf," kata Alwi mengira-ngira.
Alwi menjelaskan, waktu jaman pergerakan memang banyak orang yang mencari bekal ilmu seperti itu, karena tak banyak yang bisa diandalkan untuk melawan penjajah. Beberapa hari setelah berlayar, kata Alwi, ada kabar burung bahwa kapal tersebut sudah berlabuh di Jawa Tengah. Kata orang-orang yang sempat berlayar membawa barang ke Jawa, lanjutnya, kapal itu sempat dikepung tentara Belanda. Namun M Yusuf berhasil lolos dari ancaman kematian. Seorang ABK kapal bernama Tifu yang akhirnya menjadi korban karena disangka sebagai M Jusuf.
Alwi juga pernah mendengar selentingan kabar, kalau M Jusuf pernah tertangkap dan dipenjara dalam sel di Jogyakarta. Namun selang beberapa hari, ia berhasil keluar dari Sel tanpa sepengetahuan tentara Belanda. Bukan hanya itu, kisah paling fenomenal yang dicatat sejarah, bahwa hanya M Yusuf yang berhasil masuk menyelinap ke Istana Bogor, ketika mengembang amanat lahirnya Supersemar yang tetap menjadi misteri hingga akhir hayatnya September dua tahun lalu.(Bersambung)
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar