Selasa, 15 Januari 2008

Enggan Bicarakan Lembu "Club Eigties"

*Masayu Anastasia

Salah satu pemeran film Kawin Kotrak, Masayu Anastasia, enggan mengomentari kedekatannya dengan salah satu personel Club Eigties Band, Lembu. "Ndak Mau ah bahas itu. Kita bahas film aja," ungkapnya usai konferensi pers Kawin Kontrak di Mal Ratu Indah, Sabtu, 12 Januari.

Mendengar itu, teman-temanya yang juga bermain di film Kawin Kontrak, Lukman Sardi dan Wiwid Gunawan tersenyum. Bahkan mereka mengatakan bahwa Lembu itu lucu.

Masayu dan Lembu kabarnya sudah bertunangan. Indikasi ini bisa dilihat dengan adanya pertemuan kedua keluarga di kediaman orangtua Masayu.
Bahkan Masayu dan Lembu pernah melihat cincin permata dan koleksi baju di Brutus sebagai bagian dari persiapan. (Dimuat Di Harian Fajar, Selasa, 15 Januari 2008)

Wajah Melepuh dengan Kosmetik

MAKASSAR -- Bermaksud memutihkan kulit wajahnya, Halijah, 28, harus menanggung risiko. Mukanya penuh bopeng dan melepuh setelah menggunakan paket krem pemutih bermerek Cream 99. Halijah mengaku mendapat paket cream pemutih itu dari temannya yang dibeli Rp100 ribu.Dengan harga tersebut Halijah sudah mendapatkan sebotol cream untuk siang, malam, dan sabun.

"Baru satu hari saya pakai langsung gatal-gatal. Tapi setelah saya tanya ke teman, katanya memang reaksinya seperti itu. Jadi saya lanjutkan pakai cream itu," ujarnya. Tapi setelah tiga hari rekasi gatal itu tidak hilang, wajah Halijah membengkak didahului munculnya biang keringat.

"Malah kepala saya pusing dan sangat pedis bila kena air. Rasanya seperti terbakar. Bahkan saya tidak bisa melihat Jumat lalu," ungkapnya.

Dokter kulit Dr Yanti Leman yang ditemui di Jl Gunung Nona, menyebutkan hasil diagnosa Halijah keracunan kosmetik, "Kalau saja terlambat di bawa ke dokter, muka saya bisa bopeng dan melepuh," tukasnya.(Dimuat Di Harian Fajar, Selasa, 15 Januari 2008)

Kru Rahasia Bintang Berburu Pisang Epe

MAKASSAR--Kru dan para pemeran Film Rahasia Bintang produksi Frame Ritz yang sedang melakukan promo film di Makassar menyempatkan waktu luannya untuk berburu makanan khas Makassar. Salah satu makanan yang paling diincar adalah Pisang Epe.

Hal ini dituturkan para pemeran Rahasia Bintang Desi Florita dan Ryan Delon saat berkunjung ke Redaksi harian Fajar Senin, 14 Januari. Kedatangan kru dan pemeran film Rahasia Bintang di terima Wapimred Harian Fajar, Nur Alim Djalil.

"Tadi malam kita sudah hampir coba semua makanan khas di Makassar, coto, dan mie titi. Tapi belum betul-betul puas. Habis makan Mi titi kita ke Pantai Losari cari Pisang Epe, tapi tidak ketemu," ujar Project Promotion Support Frame Ritz, Niken
Ayu, yang menyertai kedua pemeran film Rahasia Bintan tersebut.

Desi dalam film Rahasia Bintang menjadi pemeran utama sebagai Laras didapatnya melalui casting. Meski merasa kesulitan memerankan sosok seorang wartawati yang tangguh, Desi memerankan semua adegan-adegan berbahaya tanpa harus ada pemeran pengganti.

"Banyak adegan berbahaya yang harus saya lalui di film ini. Seperti tidur di bawah mobil yang sedang melaju. Manjat di sebuah rumah dan menyelinap melaui jendela. mengendarai motor dan berkelit-kelit melalui pilar pilar gedung," kata Desi.

Sementara itu Ryan harus melakukan observasi dan ikut beberapa wartawan infotaimen untuk lebih menjiwai perannya sebagai wartawan fotograper di Rahasia Bintang.

"Iya saya sempat observasi dan ikut wartawan untuk dapat menjiwai peran saya dalam film ini," ujar Ryan yang bercita-cita kelak dapat menjadi sutradara.

Desi belum berpikir apa rencananya ke depan. Ia ingin menjalani saja dulu apa yang bisa dilakukan.

Niken sangat berharap film perdana Frame Ritz sukses saat dirilis 31 Januari mendatang dengan meraup jumlah penonton yang banyak.

"Kami sudah menyiapkan dua judul film yang akan digarap pada Maret atau Agustus mendatang. Film kedua yang akan kami garap bergenre komedi," ungkapnya.(Dimuat di Harian Fajar, Selasa, 15 Januari 2008)

Sabtu, 12 Januari 2008

Tak Setuju Kawin Kontrak

MAKASSAR--Film genre komedi-romantis tengah marak mewarnai dunia perfilman tanah air. Bahkan awal 2008 ini, film terbaru produksi MVP Pictures bertajuk “Kawin Kontrak” akan segera diputar. Ody C Harahap, sang sutradara berharap sukses filmnya sebelumnya berjudul “Selamanya” yang laris manis di pasaran akan diikuti Kawin Kontrak.

Ide cerita film ini lahir dari sebuah fenomena nyata mengenai kawin kontrak di wilayah Jawa Barat. Film ini dibintangi aktor dan artis muda seperti Dimas Aditya, Dinda Kanyadewi, Ricky Harun, Herichan, Masayu Anastacia, serta Wiwid Gunawan. Selain itu, beberapa pemain senior seperti Lukman Sardi, Mieke Amalia, dan Unang “Bagito” juga ambil bagian dalam film ini.

Namun, bukan hanya sekadar alur cerita film ini yang menarik untuk ditonton dan dibahas. Pandangan-pandangan mereka soal kawin kontrak sendiri juga cukup menarik.
Pasalnya, meski dalam film mereka melakoni langsung yang namanya kawin kontrak, tapi di kehidupan nyata, mereka ternyata berharap itu tak terjadi. Hampir semua yang berperan dalam film ini, saat dimintai komentarnya tentang kawin kontrak mengaku tak ingin mengalami kawin kontrak dalam kehidupan nyata.

"Cukup dalam film saja. Saya tidak ingin mengalami kawin kontrak dalam kehidupan sebenarnya," ucap Masayu saat konferensi pers di Radio Prambors Makassar, Sabtu, 13 Januari. Masayu sendiri ke Makassar bersama sutradara, Ody. Selain keduanya, beberapa pemeran lain juga bertandang ke Makassar untuk mempromosikan film ini yang dirilis di bioskop-bioskop pada 9 Januari. Bahkan Dinda Kanyadewi, Masayu Anastacia, Wiwid Gunawan dan Lukman Sardi menyempatkan diri menjumpai penggemarnya malam tadi di Mal Ratu Indah.

Wiwid juga mendukung pernyataan Masayu. Menurutnya, kawin kontrak hanyalah pembenaran untuk melegalkan perbuatan zina. Pernyataan Wiwid ini mendapat dukungan dari Lukman Sardi. Ia mengatakan kawin kontrak memang hak setiap orang. Namun itu hanya dilakukan untuk menghingdari perbuatan dosa.

Film ini sendiri bercerita mengenai petualangan Rama (Dimas Aditya), Dika (Herichan), dan Jody (Ricky Harun) yang baru lulus SMU. Mereka melampiaskan gejolak darah muda nya dengan melakukan kawin kontrak. Tiga perempuan kampung menjadi pilihan mereka.

Mereka akhirnya pergi ke tempat yang biasanya ada kasus kawin kontrak. Alhasil, mereka bertemu Kang Sono (Lukman Sardi) yang berperan sebagai makelar kawin kontrak.
Jody yang terobsesi dengan perempuan yang lebih tua kawin kontrak dengan Teh Euis (Wiwid Gunawan) janda kembang beranak satu.

Dika yang cenderung suka kekerasan kawin kontrak dengan Rani (Masayu Anastasia) yang lihai menggebuk kasur. Rama si playboy memilih jatuh cinta dari pandangan pertama dengan kecantikan Isa (Dinda Kanyadewi) yang natural. Meski sebuah film komedi segar, namun film ini banyak menampilkan dialog dan adegan vulgar.

Bagi Ody, Film Kawin Kontrak merupakan film keempat yang digarapnya dan punya tantangan tersendiri karena lokasi syutingnya di daerah Puncak dan Cirebon. Ia menggarap film ini dengan dilandasi riset dan wawancara kepada beberapa orang pelaku kawin kontrak.

"Awalnya kami rencanakan shooting di lapangan 25 hari, Namu karena cuaca yang tidak mendukung, lebih banyak hujan, akhirnya molor sampai 30 hari," ujarnya.
Ody menyerahkan sepenuhnya kepada publik dalam menilai karyanya. Ia mengatakan terserah reaksi publik apakah penilaian publik film ini terkesan vulgar atau bagaimana.

"Setelah film ini dilepas ke pasaran, kesan dan respon itu sudah menjadi milik pribadi masing-masing. Terserah apa penilaiannya," sambung Ody yang mengkalim film keempatnya ini dengan genre romantik komedi.(Dimuat di Harian Fajar, Minggu, 13 Januari 2008)

Kulukis Wajahmu dalam Hujan


Kulukis kembali wajahmu

dalam hujan

dalam kenangan


Kuurai kembali masa lalu

di tepi jalan dalam rinai hujan

aku mendekapmu, bertumpu

pada dua titik hitam bola matamu


Kenangan itu kulukis kembali

aku masih ingat bagaimana kita terpisah:

hari itu hujan tak lagi turun

banjir surut meninggalkan luka yang dalam



[rumah kaca, 2003]

Di Mana Semesta Sembunyikan Tidurku?

Telah kau resapi keluhku,

juga kau jilati peluhku

untuk sebuah pengertian cinta


Esok aku tak datang lagi

membaca mata dan tubuh resahmu,

berkisah tentang malam yang pilu.

Karena aku tak bisa membebaskan diri

dari jebakan misteri semesta yang

setiap saat mengalunkan ayat-ayat kematian.


Apa yang kau lakukan,

Bila semesta menyembunyikan

tidurku di balik tabir mimpi?


Ke mana kau mencariku,

Bila semesta menutup pintu

dan menghapus jejak debuku?


Haruskah melupakanmu?

Seperti aku lalai pada semesta


[rumah kaca, 2003]

Selasa, 01 Januari 2008

Suatu Senja Bersama Pramudya Ananta Toer

Oleh: Anto

Terima kasih kepada keluarga Gretta Sitompul (aktivis UNIFEM) yang telah berbaik hati mengantar saya berkunjung ke kediaman Pramudya Ananta Toer. Meskipun dia juga tidak tahu persis kediaman Pramudya, ia dengan gigih mencari akses hingga menemukan nomor kontak Istri Pramudya Ananta Toer, Maemunah Thamrin (Keponakan Muh. Husni Thamrin). Dari situlah saya mengatur janji dengan Maemunah untuk berkunjung dan bertemu Pramudya di kediamannya, Jl. Warung Ulan No. 9 Bojonggede, Bogor.

Selasa, 31 Januari 2006 atau 1 Muharram 1427 Hijria kami berkunjung ke kediaman Pramudya Ananta Toer. Sekitar pukul 16.20 Wib kami tiba di kediaman Pramudya yang berlantai tiga di daerah Bojonggede. Suasana rumah itu sejuk dan lapang, penuh pepohonan dan berbagai jenis bunga. Cat dinding rumah bernuansa biru langit menambah rasa sejuk dan lembut terlebih lagi jika memandang bukit-bukit yang berkabut. Sejak tahun 2000 silam Pramudya memutuskan untuk menetap di Bojonggede. Ia merasa betah berlama-lama duduk membakar sampah dan melamun atau hanya sekadar mencari inspirasi untuk bahan tulisan.

Senja kala itu, kedatangan kami disambut oleh Titik Toer, anak pertama Pramudya dengan Maemunah. Lalu kami dipertemukan dengan Maemunah. Setiap hari Maemunah masih menyempatkan waktu untuk merawat dan membersihkan rumah bersama kedua anaknya yang menemani Pramudya menetap di Bojonggede. “Maaf bisa menunggu sebentar, bapak belum tiba, ia tadi diajak oleh cucunya jalan-jalan sore. Tadi sudah saya sampaikan ke bapak kalau ada yang mau bertemu setelah pukul empat sore.” Jelas Maemunah membuka perbincangan.

Selama menunggu kedatangan Pramudya kami berbincang-bincang dengan Maemunah mengenai kondisi terakhir Pramudya di teras rumahnya. “Oh, bapak sekarang sudah agak sehat kok. Setiap hari sudah mulai kliping koran lagi, malah masih tetap merokok,” tutur Maemunah seraya menunjuk ke meja yang di atasnya tergeletak sebungkus rokok, pemantik dan asbak yang penuh dengan puntung rokok.

Dua minggu sebelumnya Pramudya diberitakan menderita sakit keras, penyakit gula dan jantung. Setiap 45 menit Pramudya merasa kelelahan dan menutup mata seperti layaknya orang tidur. Baru kali ini Pramudya memperlihatkan tanda-tanda sakit yang lain dari biasanya. Ia sudah sulit untuk naik ke lantai dua di perpustakaan yang sekaligus menghubungkan dengan kamar tidurnya. Malah keluarga dan kerabat dekat sempat berpikiran lain, karena dalam keadaan sakit Pram meminta untuk diuruskan hak-hak buku dan karyanya. Beberapa sastrawan dan kerabat lainnya juga telah menjenguk Pramudya seperti Ajiep Rosidji, Eka Budianta, suami dari budayawan Melani Budianta bahkanmenyempatkan diri menginap semalam.

"Dalam keadaan sakit seperti itu bapak malah tidak mau makan dan tidak mau dibawah ke rumah sakit. Ini tidak seperti biasanya, kalau bapak sakit biasanya tetap makan." Terang Maemunah, "Kalau bapak sudah lemas, langsung aja nutup mata. Tapi tidak tidur, cumin lemas. Kalau sudah capek sekali, bapak tidak sanggup lagi naik ke kamarnya di lantai dua dekat perpustakaan. Ia langsung saja tidur di atas kursi di ruang tamu. Di situ juga bapak sering duduk menerima tamu yang berkunjung. Tiap hari kamis di sini Open House. Kalau hari Kamis bapak bisa seharian menerima tamu siapa saja dan dari mana saja.”

Kurang lebih lima belas tahun Memunah terpisah dengan Pramudya Ananta Toer semenjak pernikahan mereka di sekitar tahun 1955, “Saya tidak ingat lagi persisnya kapan kami menikah,” Maemunah menceritakan kisahnya bersama Pramudya yang usianya terpaut 4 tahun lebih mudah. Ia dikaruniai limaa anak dari Pramudya. Maemunah baru bertemu lagi dengan Pramudya pertama kali di rutan Salemba sejak terpisah antara tahun 1965 - 1980-an.

Hal yang selalu ditanyakan Pramudya selama di dalam penjara adalah keadaan rumahnya di Batu Tulis, Sawangan, Bogor. “Hingga sekarang rumah itu belum dikembalikan, semenjak saya dan anak-anak dipaksa ke luar dari rumah itu,” Tutur Maemunah, “Itu adalah rumah pertama kami, makanya bapak hingga saat ini masih tetap ngotot untuk mendapatkannya kembali. Bapak kadang berseloroh setiap yang menjadi haknya selalu dirampas, entah itu karyanya, maupun rumahya.”

“Dulu rumah itu sempat jadi mes Arhanud, tapi sekarang tidak tahu lagi keadaan rumah itu, mungkin sudah jadi milik pribadi,” Kata Maemunah seraya menawari kami minum. Rumah itu banyak menyisakan kenangan bersama anak-anak dan Pramudya. Di rumah itulah Pram bersama kawan-kawannya sering berdiskusi hingga larut malam, hingga suatu waktu Pram dijemput beberapa orang berseragam di rumah itu juga. Maemunah masih sempat bertahan di rumah itu, ketika Pram masih tetap dicari-cari oleh orang-orang yang tak dikenalnya. Hingga akhirnya Maemunah juga dipaksa ke kular dari rumah itu. Maemunah tak punya daya untuk mempertahankan rumah itu, sehingga ia dan anak-anaknya memilih mengungsi ke rumah saudaranya di Bogor.

Sekitar tahun 1961, Maemunah didatangi beberapa petugas berseragam yang mengantarkan surat kepadanya. Surat pemberitahuan penahanan Pramudya di Rumah Tahanan Militer. Salah seorang petugas yang dia ketahui namanya adalah mediang Wakil Presiden di masa Pemerintahan Soeharto, Sudharmono. Sejak itu pula ketika Pramudya dikejar-kejar atau keluar masuk penjara, Maemunah sendirilah yang berusaha menghidupi keluarganya dengan berdagang kain. Ia selalu ingat pesan Pramudya, jangan sama sekali tergantung pada orang lain dan jangan sampai meminta-minta. Apapun itu.

“Selama bapak di penjara, anak-anak sering bertanya bapak kemana? Ya ibu jawab saja, Bapak keluar negeri.” Begitulah jawaban Maemunah, bila anak-anaknya bertanya di mana gerangan keberadaan bapaknya, kenapa tidak pernah pulang ke rumah. “Anak-anak baru tahu kalau bapak dipenjara ketika saya mengajak mereka melihat keberadaan bapak di rumah tahanan Tangerang.”

****

Di usianya yang ke 81 tahun, tepatnya 6 Febreuari lalu, sudah lebih dari 50 karya Pram yang dihasilkan mulai dari novel, kumpulan cerpen, naskah drama, hingga novel yang ia terjemahkan ke bahasa Indonesia seperti novel berjudul Ibunda karya Maxim Gorky (sastrawan Rusia). Beberapa novelnya juga sudah diterjemahkan sekitar 40 bahasa. Karya terakhir yang diterbitkan itu adalah novel dengan judul Jalan Raya Pos, Jalan Deandels yang dibuat dan rampung pada tahun 1995. Setelah itu praktis tidak ada lagi karya Pram yang terdengar.

Beberapa penghargaan, seperti medali, piagam maupun sertifikat telah Pram dapatkan baik dalam negeri maupun dari luar negeri, itu dapat dilihat di ruang utama kediaman Pram di Bojonggede. Berbagai sertifikat penghargaan dan piagam dipajang di sana. Seperti penghargaan berpupa medali dari The Fokuoka Asian Culuture Prize, The PEN Freedom to Write pada tahun 1988 dan Penghargaan Ramon Maqsaysay pada tahun 1995. Pram juga beberapa kali dinominasikan sebagai kandidat penerima nobel di bidang Sastra. “Adajuga beberapa pena emas, tapi sudah berkurang, pasalnya setiap ada yang minta kita kasih.” Kata Maemunah yang mengantar kami berkeliling rumah.

Obsesi Pramudya Ananta Toer

Harapan Pram yang belum kesempaian adalah ingin sekali menyelesaikan ensiklopedi yang mulai disusunnya sejak tahun 1960-an. Sebuah Ensiklopedi tentang Indonesia. Tapi eksiklopedi itu tak pernah selesai karena dirampas dan dibakar. Baru pada tahun 1997-an Pram berencana menyusun kembali ensiklopedi itu. Bahan ensiklopedi itu sekarang berada di ruang perpustakaan Pramudya di rumahnya di Bojonggede di lantai dua.

Perpustakaan itu dirawat dan bersihkan tiap minggu oleh Maemunah bersama anak-anaknya. Kadang juga dibantu oleh 7 orang mahasiswa dari UI yang datang sekali seminggu. Ruang perpustakaan itu berisi buku sejara, psikologi, klipingan koran, atau jilidan buku, foto-foto, serta satu unit komputer. Di salah satu sudut ruang perpustakaan di atas sebuah meja ada mesin tik pram yang sering ia pakai untuk membuat naskah awal dari ceritanya.

Blora

Blora, tempat kelahiran Pram 6 Februari 1925 silam adalah kota yang sangat membekas di benak Pram, dalam banyak karyanya, ia sering menceritakan beberapa sisi dari Blora. “November, lebaran kemarin bapak minta diantar ke Blora, ziarah kubur katanya. Kadang dalam setahun bisa sampai tiga kali ke Blora. Tidak rutin juga sih. Kalau bapak mulai agak gelisah, biasanya ia minta diantar ke Blora.” terang Titik, Anak pertama Pramudya.

Bagaimana kabar pembuatan film Bumi Manusia, novel bagian pertama dari tetralogi karya Pram. Menurut Titik Noer, sudah dua tahun film itu dieksplorasi oleh tim dari Elang Perkasa. Kabarnya pemeran Annelis, tokoh utama dalam novel Bumi Manusia itu akan diperankan oleh orang Belanda. Film ini diproduseri oleh Hatuk Soebroto. “Dengar-dengar sekarang sudah sampai tahap audisi pemeran tokoh-tokoh yang ada di novel Bumi Manusia, dan mungkin akan lebih menonjolkan karakter seorang Nyai Oentosoro, ibu dari tokoh utama Minke.” Jelas Titik Noer.

Setelah berbincang tentang proses pembuatan film Bumi Manusia, sebuah mobil Ford hitam muncul dari pagar kala hari semakin senja dan matahari sudah tak tersembunyi oleh bukit-bukit di sebelah barat rumah Pramudya. Nampak Pramudya memakai topi duduk di kursi depan. Pintu mobil dibuka dan ia dituntun cucunya berjalan menghampiri kami. Ia tersenyum ramah dan menyalami kami, “Apa kabar, sudah lama?” Kami hanya balas tersenyum menerima uluran tangannya dengan akrab. “Bagaimana kalau kita duduk-duduk di dalam saja?” Pram membuka pembicaraan dan menawarkan kami duduk di meja bundar di ruang tamu.

“Saya minta maaf karena pendengaran saya sekarang sudah tidak terlalu jelas lagi.” Kata Pramudya. Daniel yang mendampingi kami untuk wawancara dengan Pram mengambil tempat di bagian sebelah kiri terlinga Pram. Setiap pertanyaan yang kami ajukan senantiasa diulang oleh Daniel dan agak mendekatkan mulutnya ke telinga kiri Pram. “Pendengaran telinga kanannya praktis tidak lagi berfungsi, itu akibat pukulan popor senapan ketika di ditahan,” jelas Daniel sambil melirik ke arah Pramudya.

Bakar Sampah dan Kliping Koran

Ketika ditanya apa yang ia rasa dan bayangkan saat menikmati membakar sampah, Pram hanya menjawab singkat seraya berseloroh bahwa hanya itu yang bisa dilakukannya di usai tua. Lalu perbicangan beralish membahas karya-karya Pram, hal pertama yang ditanyakan adalah mengapa Pram selalu menciptakan sosok perempuan yang berkarakter kuat, tegar dan mendominasi alur cerita. Pramudya pun menceritakan karyanya dan hubungannya dengan sosok seorang perempuan yang ia sangat kagumi. Yaitu ibundanya.

“Kami berasal dari keluarga yang miskin, namun saya sangat kagum pada ibu saya. Dalam keadaan miskin itu, ibu saya bekerja keras untuk membiayai sekolah saya. Ada pesan ibu yang tak bisa saya lupakan hingga saat ini. Pertama, ibu ingin saya belajar sampai ke negeri Belanda hingga Doktor. Saya heran mengapa ibu saya bisa sampai berpikir ke situ, sementara kami ini orang miskin. Dan itu saya anggap pikiran yang maju, dan saya kagum akan sikap ibu saya. Pesan kedua ibu saya adalah jangan sampai minta-minta pada siapa pun. Berusahalah sendiri.” Tutur Pram, sambil mengangkat telunjuk tangan kanannya beberapa kali. Ia begitu semangat bercerita tentang ibunya, namun nada suaranya agak tertahan, mungkin ia teringat akan sosok mendiang ibunya.

Pram tak lagi rutin menulis. Praktis keseharian Pram saat ini hanya mengkliping koran. Dan tetap menjalani hobi uniknya, yakni bakar sampah, dan berlama-lama melamun menerawang menatap sampah yang terbakar. Apa yang mendasari Pramudya bisa berlama-lama menikmati membakar sampah. “Ini mungkin karena karakternya yang introvert, seorang yang selalu memendam masalah pribadinya seorang diri, selalu merasa rendah diri, dan salah satu pelariannya ia tuangkan dalam tulisan.” jelas Daniel. Apa yang membuat Pram memutuskan menjadi penulis adalah jalan hidupnya, matapencariannya untuk menghidupi keluarga? Alasan itu juga sekaligus menjawab keraguan orang terhadap Pram. Dari alasannya yang selalu ia sampaikan kenapa itu tidak pernah mau berhenti menulis, itu tak lain karena ia merasa punya tugas nasional untuk terus dan terus selama ia masih mampu untuk mencatat sejarah. Hal itu dilakukan tak lain agar ada sesuatu yang bisa diceritakan buat anak-anak bangsa yang akan datang. Agar generasi yang akan datang bisa membaca dan menelusuri jejak masa lalu bangsanya.

Dalam waktu dekat ini, akan diterbitkan buku catatan harian Pramudya yang dituliskan mulai dari tahun 1980-an. Buku ini akan diterbitkan oleh penerbit Lentera Dipantara. “Dalam buku itu itu nantinya, Pram juga akan menjelaskan beberapa kebiasaannya, termasuk kebiasaan membakar sampah itu tadi.” kata Daniel.

Penghargaan Kontroversial

Penghargaan Ramon Maqsaysay yang diterima Pram pada tahun 1995 bersamaan dengan novel sejarah Arus Balik yang jadi kontroversi. Jadi kotroversi karena, banyak kalangan termasuk di kalangan sesama sastrawan sendiri ada yang pro dan kontra. Alasan mereka yang kontra Pram menerima penghargaan itu karena menganggap, Pram adalah bagian dari masa lalu di dunia kesusastraan Indoensia yang harus dilupakan. Selain itu juga Pram dikaitkan sebagai sastrawan yang prolekra. Bukti kontra di kalangan sastrawan sendiri ditunjukkan oleh sastrawan sekaligus jurnalis, Mochtar Lubis, ia mengembalikan penghargaan Ramon Maqsaysay yang diterimanya lebih dulu, apabila Pram ditetapkan sebagai penerima penghargaan Ramon Maqsaysay berikutnya.

Angkatan Muda

Usia yang renta tak juga menghilangkan semangat nasionalisme pengagum Soekarno ini, Pram selalu mengingatkan dan mengidam-idamkan adanya gerakan angkatan muda untuk bersatu kembali dan membuat kongres untuk mengurusi Negara ini. “Bahkan kalau perlu menciptakan semcam kongres sumpah pemuda jilid dua,” kata Pramudya ketus. Pram melihat bahwa momen reformasi yang dikawal oleh angkatan muda tak sukses menghasilkan pemimpin bangsa. Buktinya sekarang korupsi, kolusi, nepotisme, kerusuhan, dan intrik politik terus-terusan membekap Negara ini. Mengapa Pram sangat mengagumi seorang Soekarno? Pram menjawab dengan tegas, “Karena Soekarno adalah pemimpin yang lahir dari perjuangan angkatan muda dan dapat menyatukan bangsa ini tanpa pertumpahan darah.”

Ketika ditanya apa yang membuat Pramudya bisa bertahan dan tidak berhenti menulis meski mendapat tekanan, intimidasi, bahkan ancaman penjara. Pram hanya menjawab seraya berseloroh kembali, bahwa hanya dunia tulis-menulis saja yang dia bisa, pekerjaan lain tidak bisa. Pram merasa ia telah keluar sebagai pemenang. Keluar masuk penjara, diintimidasi, diskriminasi, adalah perlakuan yang sudah akrab baginya dan hal itu sudah dianggap biasa oleh Pram. “Malah kalau boleh dikatakan saya telah keluar sebagai pemenang, karena saya masih bisa bertahan hingga saat ini. Itu semua hanya saya anggap sebagai tantangan sport saja, agar tidak terlalu membebani saya menjalani hidup ini.”

Harapan Seoarang Pramudya Ananta Toer

Jelang usianya yang ke 81 tahun ini. Pram masih memiliki beberapa harapan, namun ia tak lagi memiliki harapan pada pemerintah yang ada. Ia lebih berharap ada momen yang dapat menyatukan kembali angkatan muda untuk membuat semacam kongres yang dapat melahirkan satu kepemimpinan bangsa yang baru. Pram juga berharap agar media bisa mem-blowup perjuangan perempuan. Seperti perjuangan seorang Maemunah Thamrin yang tegar, tanpa banyak mengeluh membesarkan anak-anaknya. Tak pernah ia berhenti menanti dan menunggu Pramudya, meski harus terpisah kurang lebih 15 tahun lamanya.

Maemunah juga adalah sosok perempuan yang kuat, mampu bertahan dari berbagai tekanan serta berani mengambil risiko mendampingi seorang Pramudya yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di penjara. Dan Maemunah telah berketetapan untuk menanti ketidakpastian nasib Pramudya selama berada dalam penjara.

Pada tanggal 6 Februari 2006, di Taman Ismail Marzuki berlangsung perayaan ulang tahun Pramudya yang ke 81 yang diberita tema “Pram, Buku dan Angkatan Muda.” Perayaan itu ditandai dengan diadakan pembacaan karya-karya Pramudya oleh beberapa orang yang ingin berpartisipasi, beberapa di antaranya bintang sinetron Happy Salma, Rieke Diah Pitaloka, dan aktivis Yenni Rossa. Pada kesempatan itu juga diadakan pameran sampul buku termasuk sampul terjemahan bahasa asing karya Pram. Ada yang berbahasa Jerman, India, Rusia dan Prancis. Lebih dari 160-an judul sampul buku Pram di pamerkan di Taman Ismail Marzuki. Mulai dari pukul 09.00 Pagi hingga 23.00 Wib. Pram juga menyempatkan datang menghadiri acara itu. Dengan ia sabar melayani pengunjung yang minta berfoto dan tandatangannya. Pram didaulat naik kepanggung untuk berbincan-bicang dan berdiskusi dengan segenap orang yang menghadiri acara terserbut.

Namun di penghujung bulan April 2006, Obsesi Pramudya tinggallah menjadi kenangan. Ia telah terbang menuju nirwana kesepian, menghadap sang pencipta. Catatan hidupnya pada selembar daun bidara telah berhenti. Namun segala yang ditinggalkan menjadi kenangan dan tidak akan pernah menguap, menghilang begitu saja seperti jasadnya pada prigadi-pribadi yang mengenalnya. Jasadnya yang kurus diusung di keranda menuju pemakaman diiringi mars sosialime.(***)