Terima kasih kepada keluarga Gretta Sitompul (aktivis UNIFEM) yang telah berbaik hati mengantar saya berkunjung ke kediaman Pramudya Ananta Toer. Meskipun dia juga tidak tahu persis kediaman Pramudya, ia dengan gigih mencari akses hingga menemukan nomor kontak Istri Pramudya Ananta Toer, Maemunah Thamrin (Keponakan Muh. Husni Thamrin). Dari situlah saya mengatur janji dengan Maemunah untuk berkunjung dan bertemu Pramudya di kediamannya, Jl. Warung Ulan No. 9 Bojonggede, Bogor.
Senja kala itu, kedatangan kami disambut oleh Titik Toer, anak pertama Pramudya dengan Maemunah. Lalu kami dipertemukan dengan Maemunah. Setiap hari Maemunah masih menyempatkan waktu untuk merawat dan membersihkan rumah bersama kedua anaknya yang menemani Pramudya menetap di Bojonggede. “Maaf bisa menunggu sebentar, bapak belum tiba, ia tadi diajak oleh cucunya jalan-jalan sore. Tadi sudah saya sampaikan ke bapak kalau ada yang mau bertemu setelah pukul empat sore.” Jelas Maemunah membuka perbincangan.
Selama menunggu kedatangan Pramudya kami berbincang-bincang dengan Maemunah mengenai kondisi terakhir Pramudya di teras rumahnya. “Oh, bapak sekarang sudah agak sehat kok. Setiap hari sudah mulai kliping koran lagi, malah masih tetap merokok,” tutur Maemunah seraya menunjuk ke meja yang di atasnya tergeletak sebungkus rokok, pemantik dan asbak yang penuh dengan puntung rokok.
Dua minggu sebelumnya Pramudya diberitakan menderita sakit keras, penyakit gula dan jantung. Setiap 45 menit Pramudya merasa kelelahan dan menutup mata seperti layaknya orang tidur. Baru kali ini Pramudya memperlihatkan tanda-tanda sakit yang lain dari biasanya. Ia sudah sulit untuk naik ke lantai dua di perpustakaan yang sekaligus menghubungkan dengan kamar tidurnya. Malah keluarga dan kerabat dekat sempat berpikiran lain, karena dalam keadaan sakit Pram meminta untuk diuruskan hak-hak buku dan karyanya. Beberapa sastrawan dan kerabat lainnya juga telah menjenguk Pramudya seperti Ajiep Rosidji, Eka Budianta, suami dari budayawan Melani Budianta bahkanmenyempatkan diri menginap semalam.
"Dalam keadaan sakit seperti itu bapak malah tidak mau makan dan tidak mau dibawah ke rumah sakit. Ini tidak seperti biasanya, kalau bapak sakit biasanya tetap makan." Terang Maemunah, "Kalau bapak sudah lemas, langsung aja nutup mata. Tapi tidak tidur, cumin lemas. Kalau sudah capek sekali, bapak tidak sanggup lagi naik ke kamarnya di lantai dua dekat perpustakaan. Ia langsung saja tidur di atas kursi di ruang tamu. Di situ juga bapak sering duduk menerima tamu yang berkunjung. Tiap hari kamis di sini Open House. Kalau hari Kamis bapak bisa seharian menerima tamu siapa saja dan dari mana saja.”
Kurang lebih lima belas tahun Memunah terpisah dengan Pramudya Ananta Toer semenjak pernikahan mereka di sekitar tahun 1955, “Saya tidak ingat lagi persisnya kapan kami menikah,” Maemunah menceritakan kisahnya bersama Pramudya yang usianya terpaut 4 tahun lebih mudah. Ia dikaruniai limaa anak dari Pramudya. Maemunah baru bertemu lagi dengan Pramudya pertama kali di rutan Salemba sejak terpisah antara tahun 1965 - 1980-an.
Hal yang selalu ditanyakan Pramudya selama di dalam penjara adalah keadaan rumahnya di Batu Tulis, Sawangan, Bogor. “Hingga sekarang rumah itu belum dikembalikan, semenjak saya dan anak-anak dipaksa ke luar dari rumah itu,” Tutur Maemunah, “Itu adalah rumah pertama kami, makanya bapak hingga saat ini masih tetap ngotot untuk mendapatkannya kembali. Bapak kadang berseloroh setiap yang menjadi haknya selalu dirampas, entah itu karyanya, maupun rumahya.”
“Dulu rumah itu sempat jadi mes Arhanud, tapi sekarang tidak tahu lagi keadaan rumah itu, mungkin sudah jadi milik pribadi,” Kata Maemunah seraya menawari kami minum. Rumah itu banyak menyisakan kenangan bersama anak-anak dan Pramudya. Di rumah itulah Pram bersama kawan-kawannya sering berdiskusi hingga larut malam, hingga suatu waktu Pram dijemput beberapa orang berseragam di rumah itu juga. Maemunah masih sempat bertahan di rumah itu, ketika Pram masih tetap dicari-cari oleh orang-orang yang tak dikenalnya. Hingga akhirnya Maemunah juga dipaksa ke kular dari rumah itu. Maemunah tak punya daya untuk mempertahankan rumah itu, sehingga ia dan anak-anaknya memilih mengungsi ke rumah saudaranya di Bogor.
Sekitar tahun 1961, Maemunah didatangi beberapa petugas berseragam yang mengantarkan surat kepadanya. Surat pemberitahuan penahanan Pramudya di Rumah Tahanan Militer. Salah seorang petugas yang dia ketahui namanya adalah mediang Wakil Presiden di masa Pemerintahan Soeharto, Sudharmono. Sejak itu pula ketika Pramudya dikejar-kejar atau keluar masuk penjara, Maemunah sendirilah yang berusaha menghidupi keluarganya dengan berdagang kain. Ia selalu ingat pesan Pramudya, jangan sama sekali tergantung pada orang lain dan jangan sampai meminta-minta. Apapun itu.
“Selama bapak di penjara, anak-anak sering bertanya bapak kemana? Ya ibu jawab saja, Bapak keluar negeri.” Begitulah jawaban Maemunah, bila anak-anaknya bertanya di mana gerangan keberadaan bapaknya, kenapa tidak pernah pulang ke rumah. “Anak-anak baru tahu kalau bapak dipenjara ketika saya mengajak mereka melihat keberadaan bapak di rumah tahanan Tangerang.”
****
Di usianya yang ke 81 tahun, tepatnya 6 Febreuari lalu, sudah lebih dari 50 karya Pram yang dihasilkan mulai dari novel, kumpulan cerpen, naskah drama, hingga novel yang ia terjemahkan ke bahasa Indonesia seperti novel berjudul Ibunda karya Maxim Gorky (sastrawan Rusia). Beberapa novelnya juga sudah diterjemahkan sekitar 40 bahasa. Karya terakhir yang diterbitkan itu adalah novel dengan judul Jalan Raya Pos, Jalan Deandels yang dibuat dan rampung pada tahun 1995. Setelah itu praktis tidak ada lagi karya Pram yang terdengar.
Beberapa penghargaan, seperti medali, piagam maupun sertifikat telah Pram dapatkan baik dalam negeri maupun dari luar negeri, itu dapat dilihat di ruang utama kediaman Pram di Bojonggede. Berbagai sertifikat penghargaan dan piagam dipajang di sana. Seperti penghargaan berpupa medali dari The Fokuoka Asian Culuture Prize, The PEN Freedom to Write pada tahun 1988 dan Penghargaan Ramon Maqsaysay pada tahun 1995. Pram juga beberapa kali dinominasikan sebagai kandidat penerima nobel di bidang Sastra. “Adajuga beberapa pena emas, tapi sudah berkurang, pasalnya setiap ada yang minta kita kasih.” Kata Maemunah yang mengantar kami berkeliling rumah.
Obsesi Pramudya Ananta Toer
Harapan Pram yang belum kesempaian adalah ingin sekali menyelesaikan ensiklopedi yang mulai disusunnya sejak tahun 1960-an. Sebuah Ensiklopedi tentang Indonesia. Tapi eksiklopedi itu tak pernah selesai karena dirampas dan dibakar. Baru pada tahun 1997-an Pram berencana menyusun kembali ensiklopedi itu. Bahan ensiklopedi itu sekarang berada di ruang perpustakaan Pramudya di rumahnya di Bojonggede di lantai dua.
Perpustakaan itu dirawat dan bersihkan tiap minggu oleh Maemunah bersama anak-anaknya. Kadang juga dibantu oleh 7 orang mahasiswa dari UI yang datang sekali seminggu. Ruang perpustakaan itu berisi buku sejara, psikologi, klipingan koran, atau jilidan buku, foto-foto, serta satu unit komputer. Di salah satu sudut ruang perpustakaan di atas sebuah meja ada mesin tik pram yang sering ia pakai untuk membuat naskah awal dari ceritanya.
Blora
Bagaimana kabar pembuatan film Bumi Manusia, novel bagian pertama dari tetralogi karya Pram. Menurut Titik Noer, sudah dua tahun film itu dieksplorasi oleh tim dari Elang Perkasa. Kabarnya pemeran Annelis, tokoh utama dalam novel Bumi Manusia itu akan diperankan oleh orang Belanda. Film ini diproduseri oleh Hatuk Soebroto. “Dengar-dengar sekarang sudah sampai tahap audisi pemeran tokoh-tokoh yang ada di novel Bumi Manusia, dan mungkin akan lebih menonjolkan karakter seorang Nyai Oentosoro, ibu dari tokoh utama Minke.” Jelas Titik Noer.
Setelah berbincang tentang proses pembuatan film Bumi Manusia, sebuah mobil Ford hitam muncul dari pagar kala hari semakin senja dan matahari sudah tak tersembunyi oleh bukit-bukit di sebelah barat rumah Pramudya. Nampak Pramudya memakai topi duduk di kursi depan. Pintu mobil dibuka dan ia dituntun cucunya berjalan menghampiri kami. Ia tersenyum ramah dan menyalami kami, “Apa kabar, sudah lama?” Kami hanya balas tersenyum menerima uluran tangannya dengan akrab. “Bagaimana kalau kita duduk-duduk di dalam saja?” Pram membuka pembicaraan dan menawarkan kami duduk di meja bundar di ruang tamu.
“Saya minta maaf karena pendengaran saya sekarang sudah tidak terlalu jelas lagi.” Kata Pramudya. Daniel yang mendampingi kami untuk wawancara dengan Pram mengambil tempat di bagian sebelah kiri terlinga Pram. Setiap pertanyaan yang kami ajukan senantiasa diulang oleh Daniel dan agak mendekatkan mulutnya ke telinga kiri Pram. “Pendengaran telinga kanannya praktis tidak lagi berfungsi, itu akibat pukulan popor senapan ketika di ditahan,” jelas Daniel sambil melirik ke arah Pramudya.
Ketika ditanya apa yang ia rasa dan bayangkan saat menikmati membakar sampah, Pram hanya menjawab singkat seraya berseloroh bahwa hanya itu yang bisa dilakukannya di usai tua. Lalu perbicangan beralish membahas karya-karya Pram, hal pertama yang ditanyakan adalah mengapa Pram selalu menciptakan sosok perempuan yang berkarakter kuat, tegar dan mendominasi alur cerita. Pramudya pun menceritakan karyanya dan hubungannya dengan sosok seorang perempuan yang ia sangat kagumi. Yaitu ibundanya.
“Kami berasal dari keluarga yang miskin, namun saya sangat kagum pada ibu saya. Dalam keadaan miskin itu, ibu saya bekerja keras untuk membiayai sekolah saya. Ada pesan ibu yang tak bisa saya lupakan hingga saat ini. Pertama, ibu ingin saya belajar sampai ke negeri Belanda hingga Doktor. Saya heran mengapa ibu saya bisa sampai berpikir ke situ, sementara kami ini orang miskin. Dan itu saya anggap pikiran yang maju, dan saya kagum akan sikap ibu saya. Pesan kedua ibu saya adalah jangan sampai minta-minta pada siapa pun. Berusahalah sendiri.” Tutur Pram, sambil mengangkat telunjuk tangan kanannya beberapa kali. Ia begitu semangat bercerita tentang ibunya, namun nada suaranya agak tertahan, mungkin ia teringat akan sosok mendiang ibunya.
Pram tak lagi rutin menulis. Praktis keseharian Pram saat ini hanya mengkliping koran. Dan tetap menjalani hobi uniknya, yakni bakar sampah, dan berlama-lama melamun menerawang menatap sampah yang terbakar. Apa yang mendasari Pramudya bisa berlama-lama menikmati membakar sampah. “Ini mungkin karena karakternya yang introvert, seorang yang selalu memendam masalah pribadinya seorang diri, selalu merasa rendah diri, dan salah satu pelariannya ia tuangkan dalam tulisan.” jelas Daniel. Apa yang membuat Pram memutuskan menjadi penulis adalah jalan hidupnya, matapencariannya untuk menghidupi keluarga? Alasan itu juga sekaligus menjawab keraguan orang terhadap Pram. Dari alasannya yang selalu ia sampaikan kenapa itu tidak pernah mau berhenti menulis, itu tak lain karena ia merasa punya tugas nasional untuk terus dan terus selama ia masih mampu untuk mencatat sejarah. Hal itu dilakukan tak lain agar ada sesuatu yang bisa diceritakan buat anak-anak bangsa yang akan datang. Agar generasi yang akan datang bisa membaca dan menelusuri jejak masa lalu bangsanya.
Dalam waktu dekat ini, akan diterbitkan buku catatan harian Pramudya yang dituliskan mulai dari tahun 1980-an. Buku ini akan diterbitkan oleh penerbit Lentera Dipantara. “Dalam buku itu itu nantinya, Pram juga akan menjelaskan beberapa kebiasaannya, termasuk kebiasaan membakar sampah itu tadi.” kata Daniel.
Usia yang renta tak juga menghilangkan semangat nasionalisme pengagum Soekarno ini, Pram selalu mengingatkan dan mengidam-idamkan adanya gerakan angkatan muda untuk bersatu kembali dan membuat kongres untuk mengurusi Negara ini. “Bahkan kalau perlu menciptakan semcam kongres sumpah pemuda jilid dua,” kata Pramudya ketus. Pram melihat bahwa momen reformasi yang dikawal oleh angkatan muda tak sukses menghasilkan pemimpin bangsa. Buktinya sekarang korupsi, kolusi, nepotisme, kerusuhan, dan intrik politik terus-terusan membekap Negara ini. Mengapa Pram sangat mengagumi seorang Soekarno? Pram menjawab dengan tegas, “Karena Soekarno adalah pemimpin yang lahir dari perjuangan angkatan muda dan dapat menyatukan bangsa ini tanpa pertumpahan darah.”
Ketika ditanya apa yang membuat Pramudya bisa bertahan dan tidak berhenti menulis meski mendapat tekanan, intimidasi, bahkan ancaman penjara. Pram hanya menjawab seraya berseloroh kembali, bahwa hanya dunia tulis-menulis saja yang dia bisa, pekerjaan lain tidak bisa. Pram merasa ia telah keluar sebagai pemenang. Keluar masuk penjara, diintimidasi, diskriminasi, adalah perlakuan yang sudah akrab baginya dan hal itu sudah dianggap biasa oleh Pram. “Malah kalau boleh dikatakan saya telah keluar sebagai pemenang, karena saya masih bisa bertahan hingga saat ini. Itu semua hanya saya anggap sebagai tantangan sport saja, agar tidak terlalu membebani saya menjalani hidup ini.”
Jelang usianya yang ke 81 tahun ini. Pram masih memiliki beberapa harapan, namun ia tak lagi memiliki harapan pada pemerintah yang ada. Ia lebih berharap ada momen yang dapat menyatukan kembali angkatan muda untuk membuat semacam kongres yang dapat melahirkan satu kepemimpinan bangsa yang baru. Pram juga berharap agar media bisa mem-blowup perjuangan perempuan. Seperti perjuangan seorang Maemunah Thamrin yang tegar, tanpa banyak mengeluh membesarkan anak-anaknya. Tak pernah ia berhenti menanti dan menunggu Pramudya, meski harus terpisah kurang lebih 15 tahun lamanya.
Maemunah juga adalah sosok perempuan yang kuat, mampu bertahan dari berbagai tekanan serta berani mengambil risiko mendampingi seorang Pramudya yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di penjara. Dan Maemunah telah berketetapan untuk menanti ketidakpastian nasib Pramudya selama berada dalam penjara.
Pada tanggal 6 Februari 2006, di Taman Ismail Marzuki berlangsung perayaan ulang tahun Pramudya yang ke 81 yang diberita tema “Pram, Buku dan Angkatan Muda.” Perayaan itu ditandai dengan diadakan pembacaan karya-karya Pramudya oleh beberapa orang yang ingin berpartisipasi, beberapa di antaranya bintang sinetron Happy Salma, Rieke Diah Pitaloka, dan aktivis Yenni Rossa. Pada kesempatan itu juga diadakan pameran sampul buku termasuk sampul terjemahan bahasa asing karya Pram. Ada yang berbahasa Jerman, India, Rusia dan Prancis. Lebih dari 160-an judul sampul buku Pram di pamerkan di Taman Ismail Marzuki. Mulai dari pukul 09.00 Pagi hingga 23.00 Wib. Pram juga menyempatkan datang menghadiri acara itu. Dengan ia sabar melayani pengunjung yang minta berfoto dan tandatangannya. Pram didaulat naik kepanggung untuk berbincan-bicang dan berdiskusi dengan segenap orang yang menghadiri acara terserbut.
Namun di penghujung bulan April 2006, Obsesi Pramudya tinggallah menjadi kenangan. Ia telah terbang menuju nirwana kesepian, menghadap sang pencipta. Catatan hidupnya pada selembar daun bidara telah berhenti. Namun segala yang ditinggalkan menjadi kenangan dan tidak akan pernah menguap, menghilang begitu saja seperti jasadnya pada prigadi-pribadi yang mengenalnya. Jasadnya yang kurus diusung di keranda menuju pemakaman diiringi mars sosialime.(***)
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar